Dasar Teori Laporan Serangga Permukaan tanah (Diurnal Nokturnal) praktikum ekologi hewan
Kelompok hutan nokturnal
dan diurnal terdiri dari spesies dalam berbagai suku dengan 100% dari individu
yang dikumpulkan dalam hutan dan 42-63% dikumpulkan pada malam
hari. Spesies ini akan menjadi spesies diurnal atau nokturnal dengan
kegiatan penerbangan kusam, karena mereka juga dikumpulkan selama periode malam
hari (1600-2000h) atau pagi hari (0400-0800h) bukannya merata sepanjang hari
(Masahiro, 2014: 797).
Arthropoda tanah adalah kelompok fauna tanah yang mempunyai kaki berbuku-buku dan sebagian besar terdiri atas anggota Ordo Collembola dan Acarina. Kelompok fauna ini mempunyai penyebaran luas dan ditemukan di seluruh lokasi yang ditumbuhi tanaman, dapat hidup di daratan yang bertemperatur dari – 60o sampai > 40oC, dan berperan sebagai hewan pioner. Arthropoda tanah tergolong saprofagus (pemakan sisa-sisa tanaman) yang telah mati, sebagian kecil termasuk karnivora dan saprofagus, dan berperan dalam dekomposisi bahan organik baik dengan enzim yang diproduksi sendiri atau dari enzim yang dihasilkan mikroflora tanah (Saraswati, dkk., 2007: 262).
Secara umum tanah bagi serangga
tanah berfungsi sebagai tempat hidup, tempat pertahanan, dan seringkali
makanan. Sedangkan peranan terpenting dari serangga tanah dalam ekosistem
adalah sebagai perombak bahan organik yang tersedia bagi tumbuhan hijau.
Nutrisi tanaman yang berasal dari berbagai residu tanaman akan melalui proses
dekomposisi sehingga terbentuk humus sebagai sumber nutrisi tanah (Sari, 2014:
64).
Kelimpahan laba-laba penghuni
permukaan tanah cenderung lebih tinggi pada awal pertumbuhan ratun dibandingkan
dengan padi ratun yang semakin tua. Fenomena yang sama terjadi juga pada
laba-laba penghuni tajuk. Hal ini disebabkan famili laba-laba yang dominan
ditemukan baik pada tajuk maupun permukaan tanah adalah Lycosidae, sedangkan
Lycosidae sendiri merupakan pemangsa wereng (Herlinda, dkk., 2015: 97)
Tetramorium
simillimum merupakan jenis diurnal karena lebih
banyak mencari makan sewaktu senja atau malam hari pada kelembaban udara yang
tinggi atau pada pagi hari setelah hujan. Rata-rata suhu dan kelembaban udara
saat penelitian masing-masing 24°C dan 83% sangat menunjang aktivitas jenis ini
sehingga jumlahnya banyak ditemukan dalam kawasan (Fransina, 2013: 264).
Dari masing-masing pengambilan sampel
pada setiap kuadran dengan menggunakan berbagai perangkap, yaitu perangkap
untuk serangga diurnal dan serangga nocturnal, dapat disimpulkan bahwa serangga
terbanyak yang didapatkan adalah serangga diurnal. Penangkapan serangga diurnal
dilakukan dengan menggunakan perangkap pitfall, yellow pan trap dan sweepnet.
Sedangkan untuk serangga nocturnal lebih sedikit didapatkan jika dibandingkan
dengan serangga diurnal (Kartikasari, 2015: 627).
Serangga diurnal merupakan serangga yang
membutuhkan intensitas cahaya tinggi, sehingga aktif pada siang hari dan tidak
aktif pada malam hari. Serangga krepskular adalah serangga yang membutuhkan
intensitas cahaya sedang atau saat remang-remang selama peralihan hari yaitu
waktu senja dan fajar. Serangga nokturnal merupakan kebalikan dari serangga
diurnal yaitu serangga membutuhkan intensitas cahaya rendah sehingga aktif pada
malam hari dan tidak aktif pada siang hari (Kautsar, 2015: 125).
Datangnya
malam dalam suatu hutan tropis merupakan perubahan dalam suatu periode waktu
yang pendek. Menurunnya aktivitas fotosintesa membuat hewan di lantai hutan dan
kanopi yang hidup di siang hari pergi mencari tempat perlindungan yang aman.
Dengan beristirahatnya hewan siang hari, bentuk kehidupan yang lain muncul dan
keluar dari tempat perlindungan siang harinya dan sangat sering menempati
relung yang ditinggalkan oleh organisme siang hari/ diurnal. Apabila lebih dari
90% dari burung adalah diurnal, sekitar 80% dari mamalia adalah crepuscular
atau aktif pada saat fajar atau senja atau nocturnal
(Timotius, 2012: 366).
Daftar Pustaka
Masahiro, Niino dkk. 2014. Diel Flight Activity and Habitat
Preference of Dung Beetles (Coleoptera: Scarabaeidae) in Peninsular Malaysia. Journal Raffles Bulletin of Zoology.
Vol, 62: 795-804.
Herlinda,
Siti, dkk. 2015. Struktur Komunitas Laba-Laba Di Ekosistem Padi Ratun: Pengaruh
Aplikasi Beauveria Bassiana (Balsamo). Jurnal
Entomologi Indonesia Indonesia. Vol. 12 (2): 91–99
Rasti Saraswati
Edi Husen R.D.M. Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Jawa
Barat: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sari, Martala.
2014. Identifikasi Serangga Dekomposer Di Permukaan Tanah Hutan Tropis Dataran
Rendah (Studi Kasus Di Arboretum Dan Komplek Kampus Unilak Dengan Luas 9,2 Ha). Jurnal Bio Lectura. Vol 2 (1): 63-72.
Fransina, Sarah. L dkk. 2013. Keragaman Semut pada
Areal Pemukiman dalam Hutan Lindung Sirimau Kota Ambon. Jurnal Agroforestri. Vol, 07 (04): 261-268.
Kartikasari,
Hanna, dkk. 2015. Analisis Biodiversitas Serangga Di Hutan Kota
Malabar Sebagai Urban Ecosystem Services Kota Malang Pada Musim Pancaroba.
Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 3 (8):
623-631.
Kautsar,
M Alvin, dkk. 2015. Keanekaragaman Jenis Serangga Nokturnal Di Kebun Botani
Kampus Fkip Universitas Sriwijaya Indralaya Dan Sumbangannya Pembelajaran
Biologi Di Sma. Jurnal Pembelajaran
Biologi. Vo.2 (2): 124-136.
Timotius, K., H, dkk. 2012. Ekologi Asia Tenggara. Jakarta: Salemba
Teknika.
0 Response to "Dasar Teori Laporan Serangga Permukaan tanah (Diurnal Nokturnal) praktikum ekologi hewan"
Post a Comment