Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosis
Cacing akan memasukan bagian
anteriornya kedalam mukosa usus dan menyebabkan trauma serta iritasi pada
mukosa usus. Pada tempat perlekatan ini terjadi pendarahan. Cacing akan
mengkonsumsi sekresi dari jaringan mukosa usus. Diketahui juga bahwa cacing ini
akan menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia dan defisiensi
zat besi (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
Cacing dewasa terutama hidup di sekum
namun dapat juga ditemukan di kolon asendens. Derajat keparahan trikuriasis
ditentukan oleh intensitas infeksi pada saluran gastrointestinal dan variabel
lain yang mempengaruhi keadaan hospes seperti usia, kesehatan umum, dan asupan
zat besi. Pada orang yang sangat sensitif, infeksi dapat menyebabkan respon
yang tidak spesifik, seperti gugup, anoreksia, dan urtikaria (Putri, 2012).
Pada infeksi ringan, trikuriasis
umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada infeksi sedang, dimana terdapat sekitar
20 cacing dewasa dalam tubuh, akan terlihat gejala nyeri perut, diare (jarang
terdapat darah), muntah, kembung, kehilangan berat badan, serta anemia dan
defesiensi zat besi. Pada infeksi berat trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200
cacing dewasa di dalam tubuh. Gejala klinis yang tampak adalah diare yang
disertai darah, nyeri perut, tenesmus, anemia berat, prolapsus rekti, dan
eosinofilia derajat sedang (Putri, 2012).
Infeksi
berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan rendahnya
kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis berat pada anak-anak
akan memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon dan rektum (Putri,
2012). Infeksi berat T. trichiura juga
sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FKUI, 2008). Infeksi cacing dan protozoa yang biasanya
menyertai infeksi T. trichiura antara
lain Ascaris lumbricoides, cacing
tambang, dan Entamoeba hystolica.
Pada orang dengan infeksi T. trichiura
seringkali ditemukan juga infeksi Ascaris
lumbricoides (Stephenson et al.,
2000).
Trikuriasis
dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada pemeriksaan tinja (Putri, 2012). Data yang didapat
dari hasil pemeriksaan tinja adalah jumlah telur yang dinyatakan dalam satuan
telur per gram (eggs per gram / epg).
WHO menetapkan klasifikasi infeksi T.
trichiura pada individu dengan didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja,
sesuai tabel berikut:
Selain
dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T.
trichiura dapat dilakukan dengan teknik colonoscopy.
Namun, colonoscopy merupakan teknik
yang kurang biasa digunakan. Colonoscopy
biasanya dilakukan untuk evaluasi jika muncul gejala gastrointestinal
non-spesifik seperti sakit perut, diare, dan anemia. Colonoscopy dilakukan seperti pada endoskopi, yaitu melihat keadaan
pada usus individu dengan bantuan alat yang akan memvisualisasikan keadaan usus
di dalam tubuh individu. Jika terdapat infeksi, maka hasil colonoscopyakan menunjukkan adanya cacing T. trichiura yang menempel pada usus, seperti gambar berikut:
Gambar 4. Hasil colonoscopyyang menunjukkan adanya T.trichiura pada usus
(Ok et al., 2009).
Mekanisme pasti
bagaimana cacing ini menimbulkan kelainan pada manusia belum diketahui, akan
tetapi diketahui ada dua proses yang berperan, yaitu trauma oleh cacing dan
efek toksik (Siregar, 2006). Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini
membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum yang menyebabkan reaksi
anafilaksis lokal yang dimediasi oleh imunoglobulin E (Ig E), terlihat
infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi edema pada
dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada infeksi berat, dapat
dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir (sindrom disentri),
menimbulkan intoksikasi sistemik dan anemia (Pasaribu dan Lubis, 2008). Trichuris trichiura akan menyebabkan host
kehilangan darah, seekor cacing dewasa menghisap 0,005 mL darah per hari
(Siregar, 2006).
Dari studi yang dilakukan pada tikus
yang terinfeksi Trichuris trichiuramuris,
yaitu Nematoda yang berhubungan dekat dengan Trichuris trichiura pada manusia ditemukan juga adanya peran
beberapa sitokin seperti interleukin (IL)-18.22 dan IL-10.23. Interleukin 18
memegang peranan penting saat terjadinya gangguan saluran cerna yang kronik
sedangkan interleukin 10 berperan dalam pemeliharaan fungsi pertahanan kolon (colon barrier), sehingga bila terjadi defisiensi IL 10, fungsi penghalang
(barrier) kolon akan terganggu dan
dapat terjadi diare kronik (sindrom disentri trikuris) (Siregar, 2006).
Efek infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin like growth factor (IGF-1) suatu hormon pertumbuhan bersifat
anabolik yang berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis. Plasma
IGF-1 meningkat pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas. Hormon ini
merupakan marker biokimia yang baik untuk menilai gangguan pertumbuhan dan
menilai gangguan nutrisi pada seorang anak. Dari suatu penelitian terhadap 14
anak usia sekolah dasar dengan sindrom disentri trikuris, didapatkan kadar
plasma insulin like growth factor (IGF-1) rendah, kadar serum tumor necrosis factor a (TNF-a) meningkat, serum albumin normal,
konsentrasi hemoglobin rendah, dan sintesis kolagen menurun (Siregar, 2006).
Secara keseluruhan infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan
diare kronik berat, serta hilangnya darah dalam jumlah besar, pernah dilaporkan
kadar hemoglobin mencapai 3 g/dl pada seorang pasien sehingga menyebabkan plasma
IGF-1 menurun, kadar TNF-a meningkat dan sintesis kolagen menurun. Disamping
itu, umur Trichuris trichiura relatif
panjang (umumnya 5 tahun), semua keadaan ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada host (Siregar, 2006).
Tatalaksana dan Pencegahan
WHO
memberikan empat daftar anthelmintik esesial yang aman dalam penanganan dan
kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole dan pirantel pamoat.
Jika diberikan secara regular pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini
efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang
endemis (Keisser and Utzinger, 2008).
Penatalaksanaan
infeksi T. trichiura dilaksanakan
dengan pemberian terapi antihelmintik, diantaranya yang paling banyak digunakan
adalah mebendazole dan albendazole. Kedua obat ini termasuk ke dalam kelompok
obat benzimidazole yang bekerja menghambat polimerisasi dari mikrotubulus
parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Tujuan
utama dari pemberian obat antihelmintik ini adalah mengeluarkan semua cacing
dewasa dari saluran gastrointestinal (Bogitsh et al., 2012; Suriptiastuti, 2006).
Albendazole
memiliki efek larvasidal (pembunuh larva) dan efek ovisidal (pembunuh telur).
Albendazole tersedia dalam bentuk tablet dan cairan, sediaan 200 mg dan 400 mg
(Enie, 2013). Albendazole diberikan melalui dosis tunggal sebanyak 400 mg.
Efisiensi albendazole untuk pengobatan trikuriasis lebih rendah dibandingkan
dengan mebendazole. Mebendazole diberikan sebanyak 100 mg yang dikonsumsi dua
kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Efektifitas mebendazole ini
terbukti menyembuhkan 40-75% infeksi trikuriasis. Penggunaan albendazole dan
mebendazole pada wanita hamil dapat menyebabkan kontraindikasi relatif. Jika
wanita hamil sudah mencapai usia kehamilan lewat dari trimester pertama
pengobatan mendazole tidak dapat dilakukan. Umumnya, wanita hamil yang
mengalami trikuriasis dapat ditangani menggunakan oksantel pamoat (Putri,
2012).
Trikuriasis
erat kaitannya dengan sanitasi diri dan lingkungan. Pencegahan primer
trikuriasis dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu
dengan cara menumbuhkan kebiasan pola hidup bersih dan sehat. Cara pencegahan
sekunder adalah dengan mencegah rantai penularan, pencegahan tersebut dilakukan
melalui pengobatan bagi penderita trikuriasis agar tidak menjadi agen
penyebaran. Penderita juga harus buang air besar dijamban agar tidak terjadi
kontaminasi ke tanah (Putri, 2012).
Pencegahan yang dapat dilakukan guna
menghindari terjangkitnya T. trichiura
antara lain dengan menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, mencuci
tangan sebelum makan atau sebelum menyentuh makanan, dan melindungi makanan
terhadap lalat. Kebersihan merupakan pencegahan yang terbaik untuk infeksi T. trichiura. Walaupun obat-obatan dapat
melenyapkan cacing tersebut, infeksi dapat kambuh kembali jika kebersihan
(perorangan) tidak diperhatikan (Muslim, 2009).
Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang
baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagi di negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
DAFTAR
PUSTAKA
Bogitsh, B., J.
Clint, E. Carter, Thomas, and N. Oeltmann. 2012. Human Parasitology. 4th ed. Oxford: Academic Press.
Enie. 2013. Perbandingan
Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 dan 3 Hari pada Infeksi Trichuris trichiura pada Anak SDN
102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Helmy, D. dkk. 2000.
Penyakit Cacing di Unit Pemukiman Transmigasi Provinsi Bengkulu pada Anak
Sekolah Dasar. Media Litbang Kesehatan.
Vol. 10, No. 2, hal. 32-36.
Irianto, K. 2011. Parasitologi: Berbagai Penyakit yang
Mempengaruhi Kesehatan Manusia. Bandung: Yrama Widya.
Keisser, J. and J.
Utzinger. 2008. Efficacy of Current
Drugs Againts Soil-Transmitted Helminth Infection, Systematic Review and
Meta-Analysis. JAMA.
299: 1937-48.
Knopp, S.et al. 2010. Albendazole and Mebendazole
Administered Alone or in Combination with Ivermectin against Trichuris trichiura: A Randomized
Controlled Trial. Clinical Infectious
Diseases. Vol. 51, No. 12, hal 1420-1428.
Lubis, A. D. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 dan 7
Hari pada Infeksi Trichuris trichiura.
Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Mardiana dan
Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib
Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di
Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi
Kesehatan. Vol. 7, No. 2, hal. 769-774.
Marleta, R. dkk.
2005. Faktor Lingkungan dalam Pemberantasan Cacing Usus di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 4, No.3,
hal 290-295.
Muslim, H. M. 2009. Parasitologi untuk Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Natadisastra, D. dan
A. Ridad. 2009. Parasitologi Kedokteran:
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Ok, K. S. et al. 2009. Trichuris trichiura Infection Diagnosed by Colonoscopy: Case
Reports and Review of Literature. Korean
Journal of Parasitology. Vol. 47, No. 3, hal. 275-280.
Pasaribu, S. dan C. P. Lubis.
2008. Trichuriasis (infeksi cacing cambuk): BukuAjar Infeksi dan Pediatric Tropis. Edisi
2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Putri, E. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Mengenai
Trichuris trichiura dan Karakteristik Guru SD di Jakarta pada Tahun 2011.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Indonesia.
Siregar, C. D. 2006.
Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan
Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari
Pediatri. Vol. 8, No. 2: 112-117.
Smith, H. M. et al. 2001. Prevalence and Intensity of
Infections of Ascaris lumbricoides
and Trichuris trichiura and
Associated Socio-demographic Variables in Four Rural HonduranCommunities. Memorias de Intituto Oswaldo Cruz Rio de
Janeiro. Vol. 96, No. 3, hal. 303-314.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI. 2008.Parasitologi Kedokteran.
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Stephenson, L.S. et al. 2000. The public health
significance of Trichuris trichiura. Parasitology. Vol. 121, hal S73-S95.
Suriptiastuti. 2006.
Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universa Medicina. Vol. 25, No. 2, hal 84-93.
0 Response to "Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosi, Pengaruh Infeksi, Tatalaksana dan Pencegahan Trichuris trichiura"
Post a Comment