Taksonomi dan Morfologi, siklus hidup, Epidemiologi dan Prevalensi, Trichiuris trichiura
Pendahuluan
Parasit usus masih merupakan permasalahan
kesehatan utama di banyak negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Indonesia
yang merupakan negara beriklim tropis merupakan tempat berkembang yang baik dan
subur bagi parasit terutama cacing yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia
(Helmy dkk., 2000).
Prevalensi parasit usus di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Di daerah tersebut, warga terutama anak-anak, defekasi di halaman rumah atau di got sehingga tanah dapat tercemar telur cacing. Prevalensi kecacingan di daerah-daerah di Indonesia berkisar antara 60%-90% tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan. Infeksi cacing usus umumnya ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing dan tempat tinggal yang tidak saniter (Mardiana dan Djarismawati, 2008).
Prevalensi parasit usus di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Di daerah tersebut, warga terutama anak-anak, defekasi di halaman rumah atau di got sehingga tanah dapat tercemar telur cacing. Prevalensi kecacingan di daerah-daerah di Indonesia berkisar antara 60%-90% tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan. Infeksi cacing usus umumnya ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing dan tempat tinggal yang tidak saniter (Mardiana dan Djarismawati, 2008).
Diantara
berbagai jenis cacing usus yang ada, yang seringkali menimbulkan masalah
kesehatan adalah soil transmitted
helminth atau cacing yang ditularkan melalui tanah. Contoh soil transmitted helminth antara lain Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides,dan
Anclyostoma sp. (Mardiana dan Djarismawati, 2008). Penularan cacing yang
tergolong STH umumnya terjadi melalui
telur infeksius atau larva menembus kulit seperti cacing tambang yang tertelan.
Disebut sebagai STH karena bentuk
infektif cacing tersebut berada di tanah (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI, 2008).
Dari contoh cacing yang tergolong dalam STH tersebut, yang terpenting dan yang
akan dibahas berikutnya adalah Trichuris
trichiura. Hospes definitive Trichuris
trichiura (whip worm) adalah
manusia dan sering ditemukan bersama Ascaris
lumbricoides. Cacing dewasa Trichuris
trichiurahidup di dalam usus besar (sekum dan kolon), apendiks dan ileum
bagian distal. Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut
trikuriasis. Distribusi geografik secara kosmopolit, terutama pada daerah iklim
tropik yang lembab dan panas (Muslim, 2009).
Infeksi Trichuris trichiura atau cacing cambuk terjadi di seluruh dunia,
yaitu paling sering di daerah tropis dan prevalensinya sangat tinggi
(diperkirakan jumlah infeksi lebih dari satu miliar, menjadikannya nematoda
ketiga yang paling umum menginfeksi manusia). Di Amerika Serikat, cacing cambuk
merupakan nematoda kedua yang paling umum menginfeksi manusia (setelah
Enterobius). Umumnya, cacing ini ditemukan di daerah beriklim hangat, hujan
deras, dan kondisi sanitasi yang kondusif dengan polusi tanah. Anak-anak akan lebih
sering terinfeksi cacing cambuk daripada orang dewasa dikarenakan anak-anak memiliki
kecenderungan lebih besar untuk kontak fisik dengan tanah yang terkontaminasi
(Bogitsh et al., 2012).
Taksonomi dan
Morfologi
Menurut
Chandler dan Read (1959) dan Faust dan Russel (1964), Trichuris trichiura diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Aphasmida
Ordo : Enoplida
Super
famili : Trichuroidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura Linnaeus (1771) (Irianto, 2011).
Sinonim
menurut Piekarski (1954):
Trichocephalus trichiuris, Blanchard (1895)
Trichocephalus dispar, Rud (1802)
Cacing
ini mendapat sebutan sebagai cacing cambuk karena bentuknya yang menyerupai
cambuk. Cacing jantan Trichuris trichiura panjangnya 30 sampai
45 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing
betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian
ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran lebih kurang 50
x 22 mikron, bentuk seperti tempayan
dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi ovum kemudian
berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari (Pasaribu dan Lubis, 2008). Bagian
‘cambuk’ Trichuris trichiura terlihat
sepanjang 3/5 dari panjang tubuh seluruhnya. Bagian posterior cacing ini lebih
gemuk. Berikut gambar morfologi dari Trichuris
trichiura:
Gambar
1. Morfologi Trichuris trichiura;
bagian cacing dewasa betina (kiri), cacing dewasa jantan (kanan) (Enie, 2013).
Gambar
2. Morfologi Trichuris trichiura;
telur belum matang (tidak infektif) (kiri) telur sudah matang
(kanan) (Natadisastra dan Ridad, 2009).
Siklus Hidup
Gambar 3. Siklus
hidup dari Trichuris trichiura (di
kutip dari WHO).
Dari
gambar siklus hidup Trichuris trichiura
di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut. Trikuriasis merupakan penyakit yang
dapat terjadi jika manusia menelan telur cacing Trichuris trichiura. Misalnya melalui makanan yang terkontaminasi
telur cacing (tidak dicuci dengan bersih atau dimasak kurang matang). Di dalam duodenum (bagian dari usus halus) larva akan
menetas, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di
sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Siklus
ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup
selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan menghasilkan 3.000 sampai
20.000 telur setiap harinya (Lubis, 2012).
Telur
yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia atau hospes bersama
dengan tinja. Telur tersebut akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada
lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh.
Telur matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif dari Trichuris trichiura. Masa pertumbuhan
mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur
kurang lebih selama 30 sampai 90 hari (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI, 2008).
Hospes
definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura
tidak membutuhkan hospes intermediet (Natadisastra dan Ridad, 2009). Telur yang
dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang terpapar sinar
matahari secara langsung dan akan mati bila berada pada suhu dibawah -9oC
atau diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya bisa ditemukan pada epitel
sekum atau kolon. Namun, pada infeksi berat cacing dewasa juga bisa ditemukan
pada apendiks, rektum, atau bagian distal ileum (Stephenson et al., 2000).
Epidemiologi dan
Prevalensi
T. trichiura umumnya ditemukan
pada daerah hangat, lembab, tropis dan subtropis dimana angka prevalensi
infeksi T. trichiura pada anak bisa
melebihi 90%, namun juga dapat ditemukan pada daerah beriklim sedang
(Stephenson et al., 2000). Daerah
endemik infeksi T. trichiura adalah
negara tropis dan subtropis, namun sedikit kasus sporadis juga terjadi di
daerah non endemik sebagai akibat dari adanya migrasi penduduk (Ok et al., 2009).
Tichuris trichiura bersifat
kosmopolit. Spesies ini banyak ditemukan di daerah yang panas dan lembab,
seperti di Indonesia. Suhu dan kelembaban lingkungan ada iklim tropis sangat
sesuai bagi perkembangan cacing cambuk. Cacing cambuk memerlukan tanah untuk
mematangkan telurnya sehingga cacing cambuk dikelompokan ke dalam STH. Faktor yang mempengaruhi
trikuriasis adalah sanitasi. Pada negara berkembang, sistem sanitasi belum
terjaga dengan cukup baik, sehingga infeksi trikuriasis dapat menyebar dengan
mudah. Penyebaran trikuriasis yang paling banyak adalah pada lingkungan
pedasaan dan daerah kumuh di perkotaan (Putri, 2012).
Diperkirakan
1.049 juta orang terinfeksi T. trichiura,
termasuk di dalamnya 114 juta anak usia prasekolah dan 233 juta anak usia
sekolah 5-14 tahun (Stephenson et al.,
2000). Sedangkan, pada tahun 1987, WHO memperkirakan terdapat 500 juta kasus
infeksi T. trichiura di seluruh
dunia. Sementara itu menurut Knopp et al (2010)
diperkirakan terdapat 604 juta sampai 795 juta kasus infeksi T. trichiura. Di beberapa negara,
prevalensi infeksi T. trichiura
tergolong tinggi khususnya pada populasi anak. Di El Salvador kasus infeksi T. trichiura mencapai 31% dari total
populasi anak (Smith et al, 2001).
Sementara itu, 60 % penduduk di daerah terpencil Guatemala terinfeksi T. trichiura (Smith et al, 2001).
Pada
beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang diungkapkan
oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53% pada masyarakat
Bali, 36,2% di perkebunan Sumatra Selatan, 51,6% pada sejumlah sekolah di
Jakarta. Prevalensi dibawah 10% ditemukan pada pekerja pertambangan di Sumatra
Barat (2,84%) dan di sekolah-sekolah di Sulawesi Utara (7,42%). Pada tahun 1996
di Musi Banyuasin, Sumatra Selatan infeksi T.
trichiura ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008). Bahkan, pada periode sebelumnya
yaitu tahun 1972-1979, angka prevalensi T.
trichiura di beberapa daerah berada di atas 80%. Daerah tersebut yaitu
Sulawesi Selatan (82,5%), Kalimantan Barat (90%), Sumatra Utara (87%), Jawa
Barat (91%), NTB (84%), dan Irian Jaya (91%) (Marleta dkk., 2005).
Trikuriasis
ini bisa terjadi pada segala usia, namun puncak prevalensinya berada pada
rentang 5 sampai 25 tahun. Hal ini disebabkan anak-anak belum memiliki
kesadaran yang cukup mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri sendiri,
seperti kurangnya kebiasaan mencuci tangan (Putri, 2012).
DAFTAR
PUSTAKA
Bogitsh, B., J.
Clint, E. Carter, Thomas, and N. Oeltmann. 2012. Human Parasitology. 4th ed. Oxford: Academic Press.
Enie. 2013. Perbandingan
Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 dan 3 Hari pada Infeksi Trichuris trichiura pada Anak SDN
102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Helmy, D. dkk. 2000.
Penyakit Cacing di Unit Pemukiman Transmigasi Provinsi Bengkulu pada Anak
Sekolah Dasar. Media Litbang Kesehatan.
Vol. 10, No. 2, hal. 32-36.
Irianto, K. 2011. Parasitologi: Berbagai Penyakit yang
Mempengaruhi Kesehatan Manusia. Bandung: Yrama Widya.
Keisser, J. and J.
Utzinger. 2008. Efficacy of Current
Drugs Againts Soil-Transmitted Helminth Infection, Systematic Review and
Meta-Analysis. JAMA.
299: 1937-48.
Knopp, S.et al. 2010. Albendazole and Mebendazole
Administered Alone or in Combination with Ivermectin against Trichuris trichiura: A Randomized
Controlled Trial. Clinical Infectious
Diseases. Vol. 51, No. 12, hal 1420-1428.
Lubis, A. D. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 dan 7
Hari pada Infeksi Trichuris trichiura.
Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Mardiana dan
Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib
Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di
Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi
Kesehatan. Vol. 7, No. 2, hal. 769-774.
Marleta, R. dkk.
2005. Faktor Lingkungan dalam Pemberantasan Cacing Usus di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 4, No.3,
hal 290-295.
Muslim, H. M. 2009. Parasitologi untuk Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Natadisastra, D. dan
A. Ridad. 2009. Parasitologi Kedokteran:
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Ok, K. S. et al. 2009. Trichuris trichiura Infection Diagnosed by Colonoscopy: Case
Reports and Review of Literature. Korean
Journal of Parasitology. Vol. 47, No. 3, hal. 275-280.
Pasaribu, S. dan C. P. Lubis.
2008. Trichuriasis (infeksi cacing cambuk): BukuAjar Infeksi dan Pediatric Tropis. Edisi
2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Putri, E. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Mengenai
Trichuris trichiura dan Karakteristik Guru SD di Jakarta pada Tahun 2011.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Indonesia.
Siregar, C. D. 2006.
Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan
Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari
Pediatri. Vol. 8, No. 2: 112-117.
Smith, H. M. et al. 2001. Prevalence and Intensity of
Infections of Ascaris lumbricoides
and Trichuris trichiura and
Associated Socio-demographic Variables in Four Rural HonduranCommunities. Memorias de Intituto Oswaldo Cruz Rio de
Janeiro. Vol. 96, No. 3, hal. 303-314.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI. 2008.Parasitologi Kedokteran.
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Stephenson, L.S. et al. 2000. The public health
significance of Trichuris trichiura. Parasitology. Vol. 121, hal S73-S95.
Suriptiastuti. 2006.
Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universa Medicina. Vol. 25, No. 2, hal 84-93.
0 Response to "Taksonomi dan Morfologi, siklus hidup, Epidemiologi dan Prevalensi, Trichiuris trichiura"
Post a Comment