Kisah berakhirnya Sistem Kapitalis Ulee Balang
Kekuasaan Ulee balang Tumbang
Kaum feodal Uleebalang
diberi nama kaum NICA (Hasan Shaleh, 1992:36), Henkangnya kolonial Belanda dan
Jepang dari bumi Aceh pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, menjadikan para
Uleebalang semakin khawatir.
Sebagaimana yang
dituliskan oleh Antony Reid, Uleebalang tidak lagi memiliki pengaruh yang besar
dikalangan rakyat Aceh.
Kepercayaan masyarakat
terhadap kalangan feodal Uleebalang kian merosot tajam. Ditambah lagi, Ulama
yang mulai berperan dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial, yang cara
penanganannya lebih disukai oleh rakyat Aceh dibandingkan dengan cara yang
dilakukan oleh Uleebalang.
”Ulama menjadi tempat
bertanya penduduk kampung untuk mendapatkan tuntunan dan petunjuk selama
periode baru yang luar biasa ini (Kemerdekaan RI).
Akibat langsung dari
peristiwa ini adalah penyegaran dan pendemokrasian masyarakat Aceh, segala
sesuatu yang pernah menjadi duri bagi rakyat Aceh semasa pemerintahan
Uleebalang di kampung-kampung, dihapuskan.
Pertanian, perkebunan
dan peternakan diusahakan sendiri oleh rakyat. (Antony Reid, 1987:346-347).
Uleebalang yang merasa
tersingkir, mulai menebarkan teror di masyarakat. Ini terjadi pasca rapat pada
tanggal 22 Oktober 1945, yang diadakan di rumah Uleebalang Keumangan
(Beureunuen) yang terkenal paling bejat di wilayah Pidie, yaitu Teuku Keumangan
Umar.
Ada dua hasil keputusan
dari rapat tersebut. Antara lain:
1.Membentuk suatu
organisasi yang tugasnya mempertahankan kedudukan Uleebalang, yang dinamakan
Markas Besar Uleebalang; dan
2.Membentuk suatu
barisan yang dilengkapi persenjataan mutakhir, yang dinamakan Barisan Penjaga
Keamanan (BPK).
Barisan BPK dibentuk
dari bekas anggota militer KNIL Belanda dan dilatih untuk mempergunakan senjata
oleh Jepang. BPK dipimpin oleh Teuku Mahmud, yang dibagi menjadi tiga kesatuan,
yaitu Barisan Cap Bintang, Barisan Cap Saoh, dan Barisan Cap Tombak (Depdikbud,
1983:90).
Dalam bukunya, The
Blood of The People, Antony Reid menyebutkan bahwa, ”adapun kekuatan dari BPK
ini adalah 100 pucuk senjata konvensional, termasuk meriam dan mortir.
Kesempurnaan
persenjataan BPK ini adalah sebagai akibat dari mengalirnya bantuan keuangan
dari pihak lain, sebagian besar adalah dari Uleebalang di seluruh Aceh,
disamping sebagian senjata yang diperoleh dari pihak Jepang (Antony Reid,
1989:196).
Organisasi teror
bentukan Uleebalang ini, mulai beraksi pada 25 Oktober 1945. Pada tanggal 10
Desember 1945, para Uleebalang mengadakan rapat di Lueng Putu (Pidie Jaya), di
rumah Teuku Laksamana Umar, Uleebalang Njong.
Hasil rapat di tempat
kediaman Teuku Laksamana Umar, memutuskan bahwa tonggak kepemimpinan akan
diberikan kepada Zelfbestuurder van Cumbok, Teuku Muhammad Daud Cumbok atau
dikenal sebagai Daud Cumbok.
Di Aceh, orang juga
menyebutnya sebagai Uleebalang Cumbok. Ia memakai gelar, Teuku Seri Muda
Pahlawan Bintara Cumbok.
Dipilihnya Teuku Daud
Cumbok untuk menjalankan keputusan Uleebalang di Lueng Putu itu, memang sudah
sangat tepat. Sebab, dia adalah seorang Uleebalang yang berwatak keras (M. Nur
El Ibrahimy, 2001:121).
Perang dan teror
Uleebalang terhadap rakyat Aceh makin tak terkendali. Banyak penduduk yang
dibantai secara sadis dan membabi buta, penculikan gadis-gadis untuk dijadikan
hiburan bagi pasukan BPK semakin merajalela, pembakaran terhadap rumah
penduduk, tidak ketinggalan sekolah hingga madrasah pun ikut dilenyapkan,
perampasan harta benda milik masyarakat sipil, serta pencurian hewan ternak
untuk bahan konsumsi pasukan BPK Uleebalang.
Semua penderitaan
rakyat Aceh tersebut, baru berakhir setelah penangkapan Teuku Daud Cumbok
beserta stafnya, pada tanggal 16 Januari 1946 di kaki gunung Seulawah Agam.
Saat itu, Teuku Daud
Cumbok hendak melarikan diri ke Sabang yang masih diduduki oleh kolonial Belanda
(M. Nur El Ibrahimy, 2001:131).
Dengan adanya Revolusi
Sosial di Aceh, berarti berakhirnya sistem pemerintahan feodal yang telah lama
menindas rakyat, yang menjadi tulang punggung Pemerintahan kolonial Belanda di
tanah Aceh.
Kini, setelah sistem feodal
berakhir, didirikanlah sistem demokrasi yang dilakukan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat, yang sekarang dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh,
dari berbagai golongan dan lapisan (M. Nur El Ibrahimy, 2001:132)
source by:
https://web.facebook.com/groups/gallery.atjeh/permalink/968562490010725/
source by:
https://web.facebook.com/groups/gallery.atjeh/permalink/968562490010725/
0 Response to "Kisah berakhirnya Sistem Kapitalis Ulee Balang"
Post a Comment